摘要:Pasca penandatangan Memorandum of Understanding (MoU) Helsinki 15 Agustus 2005 antara pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang mengakhiri tiga dekade konflik berdarah di Aceh. Fase baru kehidupan Aceh sebagai wilayah pasca konflik dalam rangkaian proses bina-damai (peacebuilding) melewati tiga mekanisme, yakni Disarmament, Demobilization dan Reintegration (DDR). Dari ketiga aspek tersebut, proses reintegrasi menjadi tahapan yang paling menantang dan membutuhkan komiten kuat semua pihak. Sangat disayangkan, pengejawantahan tentang proses reintagrasi yang tercantum dalam MoU Helsinki masih belum ramah gender, terlihat dalam poin 3.2.5 baru menyebutkan penerima manfaat program reintegrasi adalah mantan GAM saja. Sementara, realitanya terdapatlah perempuan eks-kombatan yang dijuluki pasukan Inong Bale sebagai satu kesatuan dengan GAM pada masa konflik. Hak-hak mereka tidak diakomodasi dalam MoU. Realita ketidakadilan program perdamaian terhadap perempuan eks-kombatan inilah yang menginisiasi lahirnya Liga Inong Aceh (LINA) pada tanggal 11 Juni 2006 yang diinisiatori oleh Shadia Marhaban dan beberapa aktivis-aktivis perempuan Aceh.
其他摘要:After signing Memorandum of Understanding (MoU) Helsinki at August 15, 2005 between Government of Indonesia (GoI) and Free Aceh Movement / Gerakan Aceh Meredeka (GAM), are facilitated by Crisis Management Initiative (CMI) lead by Finland former president