摘要:Pola ruang Kota Semarang menggambarkan bagaimana pola yang memisahkan tempat konsumsi dengan tempat produksi.Tempat konsumsi adalah tempat kita tinggal, sedangkan produksi adalah tempat kita bekerja, berbelanja, sekolah beribadah, dan rekreasi. Kondisi tersebut menyebabkan warga kota harus commute (nglajo) setiap hari dari tempat tinggal ke tempat produksi. Pola kehidupan warga kota terbawa dalam irama mekanis karena harus menggunakan kendaraan bermotor. Jadilah mereka sebagai automobile based community (Hadi, 2001:100-101). Adanya permasalahan tersebut memicu lahirnya Kota Baru Mandiri BSB Semarang. Kota Baru Mandiri Bukit Semarang Baru (BSB) merupakan suatu perencanaan ruang terpadu, dimana penyediaan hunian dilengkapi dengan fasilitas-fasilitas pemenuhan kebutuhan yang masih berada dalam lingkup satu kawasan atau yang disebut juga mixed use zoning. Untuk meneliti perubahan aktivitas dan mobilitas masyarakat pada pola ruang kota terpadu yang dalam hal ini adalah Kota Baru Mandiri BSB maka digunakan pendekatan sistem sosial ekologi. Sistem sosial ekologi melihat sejauh mana interaksi antara sistem yang berbeda. Keterkaitan antara manusia dan lingkungannya diwujudkan melalui berbagai proses fisiologis, psikologis dan budaya (Lawrence, 2003). Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah mix methods dengan pendekatan kuantitatif dan kualitatif. Pendekatan kuantitatif digunakan untuk menganalisis aktivitas dan pola mobilitas, dan pendekatan kualitatif untuk menjelaskan sistem sosial ekologi masyarakat. Hasil dari penelitian ini bahwa dari lima aktivitas rutin yang dilakukan, aktivitas belanja dan aktivitas ibadah memiliki interaksi tinggi, karena sebagian besar masyarakat telah melakukan aktivitas tersebut di dalam kawasan, sementara untuk aktivitas lainnya seperti aktivitas bekerja, sekolah dan aktivitas pada waktu luang masih dilakukan di luar kawasan BSB. Penggunaan moda transportasi masyarakat BSB masih memilih beraktivitas menggunakan kendaraan pribadi.
其他摘要:Pola ruang Kota Semarang menggambarkan bagaimana pola yang memisahkan tempat konsumsi dengan tempat produksi.Tempat konsumsi adalah tempat kita tinggal, sedangkan produksi adalah tempat kita bekerja, berbelanja, sekolah beribadah, dan rekreasi. Kondisi tersebut menyebabkan warga kota harus commute (nglajo) setiap hari dari tempat tinggal ke tempat produksi. Pola kehidupan warga kota terbawa dalam irama mekanis karena harus menggunakan kendaraan bermotor. Jadilah mereka sebagai automobile based community (Hadi, 2001:100-101). Adanya permasalahan tersebut memicu lahirnya Kota Baru Mandiri BSB Semarang. Kota Baru Mandiri Bukit Semarang Baru (BSB) merupakan suatu perencanaan ruang terpadu, dimana penyediaan hunian dilengkapi dengan fasilitas-fasilitas pemenuhan kebutuhan yang masih berada dalam lingkup satu kawasan atau yang disebut juga mixed use zoning. Untuk meneliti perubahan aktivitas dan mobilitas masyarakat pada pola ruang kota terpadu yang dalam hal ini adalah Kota Baru Mandiri BSB maka digunakan pendekatan sistem sosial ekologi. Sistem sosial ekologi melihat sejauh mana interaksi antara sistem yang berbeda. Keterkaitan antara manusia dan lingkungannya diwujudkan melalui berbagai proses fisiologis, psikologis dan budaya (Lawrence, 2003). Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah mix methods dengan pendekatan kuantitatif dan kualitatif. Pendekatan kuantitatif digunakan untuk menganalisis aktivitas dan pola mobilitas, dan pendekatan kualitatif untuk menjelaskan sistem sosial ekologi masyarakat. Hasil dari penelitian ini bahwa dari lima aktivitas rutin yang dilakukan, aktivitas belanja dan aktivitas ibadah memiliki interaksi tinggi, karena sebagian besar masyarakat telah melakukan aktivitas tersebut di dalam kawasan, sementara untuk aktivitas lainnya seperti aktivitas bekerja, sekolah dan aktivitas pada waktu luang masih dilakukan di luar kawasan BSB. Penggunaan moda transportasi masyarakat BSB masih memilih beraktivitas menggunakan kendaraan pribadi.